Kepton, Antara Orientasi Politik dan Pelayanan Publik

Kepton
sumber foto: mediakendari.com
Politik dalam banyak definisi mengantarkan kita pada banyak frase. Seni, alat, dan cara. Ia adalah seni mencapai tujuan. Alat sebagai mengadu gagasan. Cara untuk merebut kekuasaan. Semuanya semata-mata mencapai tujuan cita-cita bersama. Dalam politik, tujuan individu melebur dalam kepentingan bersama. Semua kepentingan kelompok menjadi satu, kemaslahatan.
Dari politik, melahirkan banyak isme-isme perjuangan. Ideologi menjadi spirit perjuangan itu. Ideologi bak makhluk halus merasuki penganutnya, siap menjadi garda terdepan atas nama ideologi. Kapitalisme dan Komunisme adalah sejarah panjang pertumpahan darah yang semua atas nama ideologi. Ideologi laksana keyakinan kedua setelah agama, ia bersemayam dalam logika dan retorika. Sebuah mitos yang mendorong manusia mencari hakikat kehidupan dan penghidupan. Ideologi menjadi takdir perjalanan hidup manusia.
Nicolo Machiavelli (1469 – 1527) melihat politik sebagai alat sekaligus cara. Baginya, kekuasaan harus direbut dengan segala cara bahkan negara dapat menindak kepentingan individu sekalipun. Di mata penulis buku The Prince ini politik tidak perlu mengenal moralitas, identitas, kelamin sekalipun. Sehingga politik tidak memiliki jenis kelamin yang jelas namun hitam dan berlubang. Hitam menggelapkan jenis kelamin, berlubang menjadi celah agar semua cara dapat digunakan. Ketidakjelasan jenis kelamin dari politik kemudian menjadi ruang yang siapa saja dapat masuk dan menggunakan segala instrumen di dalamnya. Siapa saja dapat melukis di dalamnya, siapa saja dapat mendesain kepentingannya. Orang menjadi bebas dalam mengekspresikan diri dalam politik. Tak jarang orang kemudian pandai bicara politik. Mungkin kebanyakan orang secara tidak sadar terjangkit virus Machiavellisiums (ajaran Machiavelli).
Dalam konteks pemekaran Provinsi Kepulauan Buton (Kepton), politik adalah instrumennya. Kalau perlu bernafas pun dengan politik. Sebab modernisasi menuntut regenerasi untuk tidak buta dalam politik melainkan membuka mata melihat dunia dengan politik jika tak ingin tergerus oleh zaman. Dengan begitu, regenerasi mampu membaca dan menafsirkan zamannya.
Kepton secara geografis telah membangkitkan kita dari tidur panjang. Wakatobi dengan syurga di bawah lautnya; Buton dengan kualitas Aspalnya; Buton Selatan dengan kedaulatan ekonomi maritimnya; Baubau dengan jalur perniagaan antar pulau dan provinsi yang menghubungkan Indonesia bagian Barat, Tengah, Timur, dan ujung Timur Papua; Buton Tengah dengan potensi laut dan perkebunannya; Buton Utara dengan potensi hutan dan perkebunannya. Dalam skala besar Kepulauan Buton berpotensi pada wilayah maritim dan perkebunan. Keduanya perlu dimaksimalkan. Lalu, Pemekaran Provinsi Kepton untuk siapa? Pertanyaan ini setidaknya menstimulus naluri politik kita dalam melihat konstelasi perkembangan diskursus pemekaran Provinsi Kepton. Kurang lebihnya Provinsi Kepton menyadarkan kita banyak hal, mulai dari persoalan historis bahwa jazirah Buton pernah berdaulat dan persoalan kondisi multikultur masyarakat Buton berikut keragaman budaya di dalamnya di bawah kekuasaan Kesultanan Buton. Semua ini perlu konsolidasi pemikiran oleh banyak pihak. Para akademisi, peneliti, tokoh masyarakat, tokoh adat, aktivis, pemuda, kelompok perempuan, semuanya melebur dalam konsepsi gagasan kelayakan Provinsi Kepulauan Buton dan orientasi pemekaran itu sendiri.
Dengan begitu, sekiranya kita dapat mendeteksi entry point (titik masuk) diskursus yang sering kita temukan masih berseliweran di jagat maya, di dinding-dinding media sosial. Sebab konsumsi pemekaran Provinsi Kepton pada substansinya adalah konsumsi masyarakat Buton yang kemudian diframe dalam konteks intelektualitas. Kepton perlu berada dalam segala ruang dimensi pergerakan masyarakat Buton, di pasar, di mall, di warung-warung, di warkop-warkop, di ruang tunggu, di masjid-masjid, di gereja-gereja, di pinggiran kota, di kampung-kampung, di gode-gode, agar dinamika Kepton hidup dalam khazanah politik kerakyatan dimana tidak ada ruang eksklusif nan elitis.
Konsolidasi pemikiran, pergulatan gagasan dapat membuka ruang-ruang asumsi terhadap tujuan dari pemekaran Provinsi Kepulauan Buton. Apakah benar ini sebuah perjuangan historis yang kembali hidup? Ataukah sebuah narasi kekuasaan dalam konteks orientasi politik? Masyarakat harus melontarkan sepatah kata dalam memberi asumsi itu sebagai bentuk kedaulatan yang dimiliki. Legitimasi rakyat sangat berpotensi menentukan takdir dari Provinsi Kepulauan Buton ini. Sehingga perjuangan rakyat mencapai makna yang sebenarnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan salah satu tujuan pemekaran adalah efektifitas, efesiensi pelayanan publik. Bagaimana proses pelayanan publik selama ini mulai dari desa, kecamatan, ibukota kabupaten hingga ke ibukota provinsi? Tidak sedikit yang mengeluh karena harus menyebrang menggunakan kapal cepat. Takdir kepulauan adalah laut namun lautlah sumber energi kepulauan.
Sekali lagi, penulis mengajak khalayak berasumsi dengan pengalaman, intelektual, dan obrolan di warung kopi. Menelisik wacana pemekaran Provinsi Kepton tentunya kita cenderung berada pada pemikiran yang tersubordinasi, menganggap wacana ini eksklusif dan hanya dikonsumsi oleh kelompok tertentu saja. Hal ini perlu dipatahkan lewat cara pandang universal dimana setiap orang Buton boleh mengklaim gagasannya dalam wacana Kepton agar masyarakat juga memiliki kontrol terhadap wacana yang bergulir. Sistem kontrol sosial yang lahir di masyarakat jauh lebih efektif ketimbang dominasi narasi kekuasaan.
Konsensus kita kemudian terhadap pemekaran Provinsi Kepulauan Buton mesti berangkat dari legitimasi rakyat dengan mengedepankan politik kerakyatan, menjauhkan akronim Machiavellisium yang lebih cenderung diktatorian. Kalau memakai pendekatan Gusdur, politik itu mesti menjunjung tinggi kemanusiaan dimana seluruh unsur berkehidupan seperti moral, keyakinan, identitas dapat diakomodir oleh politik sebab sejatinya politik adalah untuk kemaslahatan manusia tanpa membeda-bedakan, semua diperlakukan sama.